Islamedia - Mengambil
pelajaran dan hikmah, bisa kita lakukan dimanapun dan dari siapapun.
Hikmah itu bersifat universal, bisa diambil dari semua kejadian dalam
kehidupan. Mari sedikit balajar dari seorang Arthur Ashe.
Ia
adalah petenis kulit hitam dari Amerika yang berhasil memenangkan tiga
gelar juara Grand Slam, yaitu US Open (1968), Australia Open (1970), dan
Wimbledon (1975). Pada tahun 1979 ia terkena serangan jantung yang
mengharuskannya menjalani operasi bypass.
Setelah dua kali operasi, bukannya sembuh ia malah harus menghadapi
kenyataan pahit, terinfeksi HIV melalui transfusi darah yang ia terima.
Seorang penggemarnya menulis surat kepadanya, “Mengapa Tuhan memilihmu untuk menderita penyakit itu?”
Ashe menjawab, “Di dunia ini ada 50 juta anak yang ingin bermain tenis,
di antaranya 5 juta orang yang bisa belajar bermain tenis, 500 ribu
orang belajar menjadi pemain tenis profesional, 50 ribu datang ke arena
untuk bertanding, 5000 mencapai turnamen grandslam, 50 orang berhasil
sampai ke Wimbeldon, empat orang di semifinal, dua orang berlaga di
final”.
”Dan ketika saya mengangkat trofi Wimbledon”, lanjut Ashe, “Saya tidak
pernah bertanya kepada Tuhan : Mengapa saya? Jadi ketika sekarang saya
dalam kesakitan, tidak seharusnya juga saya bertanya kepada Tuhan :
Mengapa saya?”
Ah, itu cerita jadul yang sudah sangat sering kita baca di buku-buku
motivasi dan cerita dari mulut ke mulut. Namun yang jelas, Ashe bisa
melakukannya. Sekarang saatnya bertanya kepada kita, apakah kita mampu
bersikap positif seperti Ashe. Sangat jauh membandingkan diri kita
dengan generasi salaf, apalagi para sahabat, apalagi para Nabi.
Masyaallah, dimana posisi diri kita dibanding mereka ?
Sekarang bandingkan diri kita dengan seorang Ashe saja. Bisa jadi, dia
bukan siapa-siapa dalam kehidupan dakwah kita. Cobalah bersikap jujur,
bagaimana penilaian kita atas sikap positif Ashe?
Saat kita menerima sebuah amanah dalam dakwah, berupa posisi
kepengurusan, posisi kepemimpinan, posisi jabatan publik, dan lain
sebagainya, kita terima dan kita laksanakan dengan segenap kemampuan
yang kita punya. Kita tidak perlu bertanya, “Mengapa saya?” Sudahlah,
laksanakan saja amanah itu.
Maka pada saat kita tidak terpilih, tidak mendapat amanah, tidak
menempati posisi-posisi penting, tidak mendapatkan jabatan atau
kepemimpinan seperti yang kita inginkan, mestinya kita juga tidak perlu
bertanya, “Mengapa bukan saya?”
Ya, mengapa dia yang mendapat amanah itu, mengapa bukan saya? Sombongnya
kita, jika menganggap kader lain lebih rendah kualitasnya dibanding
dengan diri kita. Seakan hanya kita yang bisa melaksanakan amanah dengan
penuh keberhasilan dan kesuksesan. Seakan hanya kita yang mampu
mengukir sejumlah prestasi. Seakan kader lain –semuanya—memiliki
kualitas yang jauh di bawah kita. Masyaallah.
Demikian pula saat amanah diambil kembali dari diri kita, dan diberikan
kepada orang lain. Padahal kita tahu bahwa kita mampu melakukannya,
namun mengapa amanah ini diambil, mengapa tidak dipercayakan lagi kepada
saya, mengapa diberikan kepada dia, apa kelebihan dia dari saya, apa
masalah saya sehingga saya tidak lagi dipercaya ? Bukankah tidak layak
kita menggugat keputusan syura dan mempersoalkan pengalihan amanah ini ?
“Mengapa saya yang diambil amanahnya? Mengapa bukan yang lainnya?”
“Mengapa saya yang tidak diberi kepercayaan memegang amanah jabatan itu?”
“Mengapa dia yang mendapatkan posisi, mengapa bukan saya?”
Wah, kalah dong sama si Ashe. “Di dunia ini ada 50 juta anak yang ingin
bermain tenis, di antaranya 5 juta orang yang bisa belajar bermain
tenis, 500 ribu orang belajar menjadi pemain tenis profesional, 50 ribu
datang ke arena untuk bertanding, 5000 mencapai turnamen grandslam, 50
orang berhasil sampai ke Wimbeldon, empat orang di semifinal, dua orang
berlaga di final”.
Kalau kita mendapatkan sesuatu amanah dalam dakwah, kerjakan dengan
segenap kemampuan. Kalau kita tidak mendapatkan sesuatu amanah sesuai
yang kita inginkan, bersyukurlah karena bisa melakukan banyak hal dalam
peran-peran fungsional lainnya. Tidak perlu galau dan risau. Apalagi
sampai sakit hati dan mendramatisir situasi.
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan
0 komentar :
Posting Komentar